Saturday, July 6, 2013

Islam Agama Yang Sempurna

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan segala kebutuhan umat di dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti dikatakan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, “Tidak ada yang diabaikan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami tentang ilmunya.” 
Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman al Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Apakah Nabi kalian mengajarkan hingga tentang tatacara buang hajat?” Salman menjawab, “Ya. Beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat dan membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang.” 
Anda tentu tahu bahwa Allah subhanahu wata’aala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala jenisnya, sampai tentang bergaul antar sesama manusia, seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. 

Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’aala, 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُم 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu; “Berlapang-lapanglah di dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” (al Mujaadalah: 11) 
 
Dan firman-Nya,
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيم
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah!”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nuur: 27-28). 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. 
Sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang al-Qur’an,  
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ 
”Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89) 

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun kehidupan dunia, melainkan telah disebutkan di dalam al Qur’an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.

Adapun firman Allah subhanahu wata’aala, 
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُون 
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan (mereka) umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al An’aam: 38) 

Ada yang menafsirkan “al-Kitab” di sini adalah al- Qur’an, padahal sebenarnya yang dimaksud adalah “Lauh Mahfuzh”. Karena apa yang dinyatakan Allah subhanahu wata’aala tentang al Qur’an di dalam firman-Nya, “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan di dalam firman-Nya, “Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab.” Mungkin ada orang yang bertanya, “Adakah ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka’at tiap-tiap shalat?” Bagai-manakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa al Qur’an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan rakaat tiap-tiap shalat?” Jawabnya, Allah subhanahu wata’aala telah menjelaskan di dalam al-Qur’an bahwasanya kita diwajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. 

Hal ini berdasarkan atas firman Allah subhanahu wata’aala, 
 مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه 
 “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisaa’: 80)
 وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tingalkanlah.” (al Hasyr: 7). 
Maka segala sesutu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sesungguhnya al-Qur’an telah menunjukkan pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. 
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, 
 وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
 “Dan Allah telah menunrunkan al Kitab (al Qur’an) dan al Hikmah (As Sunnah) kepadamu.” (An-Nisaa’: 113)
 Dengan demikian, apa yang disebutkan di dalam Sunnah, maka sebenarnya telah disebutkkan pula di dalam al Quran. Apabila Saudara telah mengakui dan mayakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah yang belum dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam, hingga beliau wafat? Tentu tidak, Nabi shallallahu ‘alahi wasallam telah menerangkan segala sesuatu berkenaan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau shallallahu ‘alahi wasallam telah menerangkanya langsung dari inisiatif beliau atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam untuk bertanya tentang sesuatu hal mengenai agama, sementera para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Sebagai bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia di dalam ibadah, mu’amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah subhanahu wata’aala,
 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhahi Islam itu jadi agama bagimu.” (al Maidah: 3). 
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid’ah (hal baru) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah subhanahu wata’aala, yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama-mu…”. Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya, dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah, belum terdapat di dalamnya. 
Di sini penulis hendak bertanya dan mohon -demi Allah-agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani, bukan secara emosional. Jawaban tersebut sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan). Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid’ah di dalam agama Allah, baik yang berkenaan dengan Dzat, Sifat dan Asma Allah subhanahu wata’aala atau yang berkenaan denga pribadi Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, kemudian mengatakan, “Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah?” Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengemban amanah Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang selain mereka itu yang tidak menyimpang seujung jari pun dari syari’at Allah, yang berkata, “Kami beriman kepada syari’at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan; kami menolak apa yang tidak ada di dalam syari’at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah, yakni mengklaim sesuatu yang tidak termasuk ajarannya?” Siapakah menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai dan mengagungkan Allah dan Rasul-Nya? Jelas golongan yang ke dua, yaitu mereka yang berkata, “Kami mengimani dan mempercayai apa yag diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan, kami menolak apa yang tidak diperintahkan dan tak patut kami mengada-ada di dalam syari’at Allah atau melakukan bid’ah di dalam agama Allah.” Tak diragukan lagi bahwa mereka inilah orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya(penciptanya). Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dan merekalah yang menunjukkan kebenaran dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan golongan pertama, yaitu mereka yang melakukan bid’ah di dalam agama Allah; di dalam hal aqidah, ucapan, atau perbuatan. 

Padahal, anehnya mereka mengerti sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam,
 (( إِيَّاكُمْ وَمُحْدَ ثَاتِ اْلأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْ عَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَة ، وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ )) 
“Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan masuk ke dalam Neraka.” Sabda beliau, “Setiap bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh dan mereka mengetahui hal itu. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan makna apa yang disampaikannya. Tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan melainkan apa yang dipahami maknanya. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Kullu bid’atin dhalalah”, beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya. Apabila suatu perkataaan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu: Diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai makna lain kecuali makna yang dikandungnya. Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian atau lima bagian? Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal: Pertama: Kemungkinan tidak termasuk bid’ah, tetapi diangapnya sebagai bid’ah. Kedua: Kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja sayyiah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya. Jadi setiap hal yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi. Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan bid’ ah mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam yaitu,
(( كُلُّ بِدْ عَةٍ ضَلاًلةٌ )) “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” 
Saudaraku… Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat di dalam perangkap bid’ah, yang kemungkinkan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan. Apabila anda memang menghendaki kebaikan, maka demi Allah, tidak ada jalan yang lebih baik selain jalan para Salaf (generasi pendahulu) rahimahumullah. Bid’ah itu cukup besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid’ah di dalam agama Allah melainkan mereka telah menghilangkan sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya. ( Abu Umair ) 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya, Silakan tinggalkan jejak anda